M-Galeri, Pohuwato – Ketua DPC Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (Apri) Kabupaten Pohuwato, Limonu Hippy menyoroti aktivitas pertambangan emas tanpa izin (Peti) di Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo.
Sebelumnya, pada Senin (22/4/2024) kemarin, 4 Desa yang berada di Kecamatan Taluditi dilanda banjir bandang yang mengakibatkan ratusan warga terdampak dari musibah tersebut. Mirisnya lagi, pemerintah kecamatan melalui Camat, menduga ihwal banjir itu diakibatkan adanya aktivitas pertambangan emas tanpa izin sehingga merusak lingkungan.
“Sayapun sebagai ketua DPC APRI, jangankan merespon aktivitas tambang menggunakan alat berat di Taluditi, diusulkan untuk WPR pun belum kami usulkan. Sebab kami tau bahwa wilayah Taluditi itu masih utuh saja hutannya, sangat rawan banjir apalagi kalau sudah ada aktivitas tambang yang menggunakan alat berat disana,” tegas Limonu.
Kemudian Limonu mengatakan, di bagian Hilir, terdapat Bendungan raksasa yang berada di Kecamatan Randangan, seyogianya kata Dia, adanya aktivitas PETI tersebut dapat merusak lingkungan akibat sedimentasi dari tambang itu sendiri.
“Lagian yang kami pertimbangkan bahwa dibagian hilir Taluditi, ada Bendungan Raksasa Randangan, yang jangan sampai adanya aktivitas tambang disana dan tidak terkendali lagi kerusakan lingkungan disana. Maka dipastika, akan terjadi pendangkalan sungai akibat sedimentasi yang langsung dibuang ke sungai,” imbuh Limonu menambahkan.
Masih menurut Limonu, rentetan kasus Pertambangan yang berakhir di jeruji besi tidaklah sedikit di Pohuwato, akibat tambang emas ilegal. Seyogianya kata politisi Gerindra ini, kasus serupa tak diharapkan di kecamatan Taluditi.
“Artinya di Wilayah lainpun sudah banyak masuk penjara akibat menggunakan alat berat, lalu kenapa di Taluditi tidak bisa diperlakukan sama. Padahal Taluditi itu sangat rawan banjir karena debit air dari hulu yang sewaktu-waktu tidak dimampui oleh sungai sehingga meluap kemana-mana. Dan kamipun berharap, penggunaan air oleh petani sawah Buntulia dan Duhiadaa kedepan sudah harus disuplay dari bendungan/irigasi Randangan. Sehingganya air sungai di Taluditi tidak boleh tercemar dan kawasan hutannya tetap utuh,” urai Limonu.
Tak sampai disitu, Limonu bilang, sebagai ketua APRI, pihaknya telah berupaya membela para penambang. Terlebih lagi, APRI saat itu berkolaborasi dengan beberapa para pelaku usaha untuk meminimalisir kerusakan lingkungan.
“Dulu saya membela penambang karena mereka masih bisa diajak kerja sama dalam pengendalian lingkungan. Dan pada waktu itu, para penambang melakukan rehabilitasi dan reklamasi lokasi pasca tambang, melakukan pengerukan sedimentasi sepanjang 7 KM saluran irigasi, meminimalisir sedimentasi langsung ke sungai dengan cara membuat kubangan pengendapan air keruh dan sedimen,” cetusnya seraya menjelaskan tugas dan fungsi APRI.
Meski upaya mengendalikan kerusakan lingkungan pasca tambang, Limonu menyadari bahwa pertambangan di Pohuwato banyak menggunakan alat berat, dan bahkan alat berat berasal dari luar daerah.
“Menanam 7000 pohon kayu dan pohon buah dieks lokasi, dan bantaran sungai. Tapi dengan banyaknya alat berat yang bebas masuk dari luar daerah, sehingga sangat sulit untuk dikendalikan. Pohon sudah ditanampun rusak kembali adanya aktivitas alat berat yang sulit dikendalikan/kepala batu.
Saya tidak melihat banyak atau tidak konstituen saya disana, tetapi saya objektif melihat dampak positif dan negatifnya. Kalau aktivitas tambang itu masih bisa diminimalisir dampak negatifnya mungkin masih boleh dipertimbangkan. Tapi saya mengamati bahwa sekarang ini lebih nampak dampak negatifnya dari pada dampak positifnya,” tandasnya.