Penulis: Rully Lamusu
POHUWATO – Awal tahun 2025 menjadi babak yang teramat kelam bagi Pohuwato. Kalender yang seharusnya menandai hari-hari produktif, justru seolah berubah menjadi nisan, mencatat satu per satu nyawa yang direnggut oleh eksploitasi alam yang tak terkendali.
Total 14 nyawa dalam enam bulan bukan lagi statistik, melainkan sebuah lonceng kematian yang berbunyi tanpa henti, menandakan sistem yang gagal melindungi warganya.
Kita tak perlu menunggu lama untuk melihat tragedi pertama. Tahun baru bahkan belum genap dua minggu saat pada 10 Januari 2025, enam nyawa tukang sensor melayang sekaligus, tertimpa pohon di Hutan Karya Baru.
Duka itu belum usai, pada 26 Januari, seorang lagi tukang sensor tewas terjepit kayu di Taluditi. Dua kejadian dalam satu bulan di sektor yang sama, seolah tak ada pelajaran yang dipetik.
Februari tiba, membawa duka yang sama dari sektor berbeda. Pada 11 Februari, dua warga tewas tertimpa pohon di kawasan tambang emas Naimu.
Sembilan hari kemudian, pada 20 Februari, seorang penambang tewas tertimbun di lokasi tambang Longgi. Pola mengerikan ini terus berlanjut. 18 Maret, seorang penambang kembali menjadi korban, tewas tertimpa longsoran batu di PETI Hulawa.
Menyebut ini sebagai takdir atau “perlawanan alam” adalah sebuah penghinaan terhadap para korban. Batu yang longsor dan pohon yang tumbang adalah akibat, bukan penyebab. Penyebab sesungguhnya adalah pengabaian sistematis terhadap keselamatan kerja di lokasi tambang ilegal dan area penebangan liar.
Ini adalah konsekuensi dari bilah gergaji yang diayunkan tanpa perhitungan dan dinding tanah yang digali tanpa penguatan, semua demi mengejar rupiah.
Memasuki pertengahan tahun, ritme kematian ini tidak melambat. Pada 3 Juni, dua pekerja tambang ditemukan tak bernyawa di Sungai Hulawa. Dan baru beberapa hari yang lalu, pada 5 Juli, seorang warga kembali tewas tertimpa batu di tambang ilegal Potabo.
Rentetan tanggal kematian ini—10 Januari, 26 Januari, 11 Februari, 20 Februari, 18 Maret, 3 Juni, 5 Juli—adalah bukti paling sahih bahwa ini bukanlah serangkaian kecelakaan tunggal.
Ini adalah wabah kelalaian. Para pekerja ini, yang terdesak kebutuhan ekonomi, dibiarkan bertaruh nyawa dalam sebuah sistem yang keuntungannya dinikmati segelintir orang, sementara risikonya ditanggung sepenuhnya oleh mereka.
Lebih mengerikannya lagi, angka 14 korban jiwa meninggal akibat kecelakaan kerja langsung ini bahkan belum termasuk mereka yang menjadi korban tewas akibat bencana ikutan seperti banjir bandang—keganasan alam yang juga kerap dipicu oleh kerusakan lingkungan masif dari aktivitas serupa.
Ancaman bagi para pekerja ini ternyata datang dari dua arah. Jika mereka berhasil selamat dari longsoran tanah dan pohon tumbang, mereka masih harus berhadapan dengan ancaman kekerasan dari sesama manusia.
Peristiwa pembacokan di area PETI yang terjadi pada Juni 2025 dan nyaris merenggut dua nyawa adalah bukti nyata bahwa lokasi-lokasi ini telah menjadi zona tanpa hukum. Ini adalah wilayah di mana nyawa tidak hanya dipertaruhkan melawan alam, tetapi juga melawan konflik brutal yang bisa meletus kapan saja.
Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum tidak bisa lagi hanya sekadar merespons dengan ucapan duka. Setiap tanggal baru dalam kalender adalah potensi nisan berikutnya.
Sudah saatnya ada tindakan tegas untuk menertibkan, meregulasi, dan mengawasi setiap jengkal aktivitas ekstraktif di Pohuwato. Jika tidak, kita hanya akan terus menghitung korban, dan kalender akan terus terisi dengan catatan duka alih-alih catatan asa.